Senin, 30 November 2015

Antara Dunia, Filsafat dan Hidupku

Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu
Hari Selasa, 24 November 2015
Pukul 11.10 - 12.50 WIB
di Ruang 305B Gedung Lama Pasca Sarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Bersama Bapak Prof. Marsigit       
         Hakikatnya terdapat  tiga komponen dalam hidup kita: menajam, membangun, mendatar. Yang lebih difokuskan dibicarakan di sini mengenai pendekatan saintifik yang merupakan fenomena menajam. Fenomena menajam merupakan fenomena yang kurang memenuhi harapan apalagi jika ingin dijadikan tema yang meliputi keseluruh maka hanya dapat memenuhi sepertiga dari bagian dunia atau hidup. Jika diibaratkan hanya seperti bangau yang hanya menajam saja dalam mencari ikan.  Hal inilah yang menjadi kritik oleh dunia filsafat dengan adanya penerapan pendekatan saintifik.
            Filsafat ilmu tidak hanya ada di Negeri Barat, di negeri Timur pun juga ada. Walaupun apda hakekatnya antara filsafat Barat dan filsafat Timur berbeda. Filsafat ilmu semakin hari maka semakin tinggi, semakin meruncing,semakin merucut merucut dan semakin tinggi dimensinya. Di situlah matematika murni ada pada batasan formal. Jika di dunia barat maka disebut dengan Iceberg, maka di Indonesia disebut dengan Gunung. Seperti halnya sifat gunung api  yaitu memuntahkan larva (analognya adalah sebagai kakak sangat mudah marah kepada adik. Kakak diibaratkan merupakan dimensi gunung yang berada di puncak. Seharusnya seornag kakak harus dapat lebih bijaksana di dalam menyikapi hal tersebut). Dapat juga dianalogikan di dalam mempelajari matematika, seorang guru juga harus mempelajari siswa. Dalam artian jangan peluncuran larva panas (pemaksaan kehendak terhadap murid). Guru harus bisa memahami karakter, sifat para siswa untuk mempermudah di dalam proses pembelajaran.
            Fenomena – fenomena yang ada juga  tergantung dari kesiapan para subyek. Jika siswa hanya sebagai obyek di dalam pembelajaran maka semua fenomena disebut disaster atau bencana. Disebut bencana karena siswa tidak dapat berfikir secara aktif, tidak dapat berfikir secara bebas, terkekang dan tertekan oleh pendapat guru. Jika di dalam pembelajaran siswa merasa senang atau merasa jelas dan mudah faham berarti itu menunjukkan siswa sebagai subjek. Jadi semuanya kembali kepada kesiapan subyek dan obyek di dalam proses pembelajaran.
            Di dalam filsafat, jika kita tidak banyak membaca maka tanpa kita sadari maka kita akan menjadi obyek. Menjadi obyek yang tidak akan pernah berkembang, tidak akan pernah maju karena akan dikuasi oleh subyek (orang-orang yang gemar membaca sehingga ilmu, pengetahuan dan wawasannya luas). Menurut IMMANUEL KANT terbentuknya filsafat ilmu sebenarnya hanya terdiri dari dua unsure yaitu batas atas adalah dunia fikiran (apriori) dan batas bawah yaitu dunia pengalaman (a posteriori). Namun inti dari dua dunia tersebut adalah sama yaitu pada tingkatan tertinggi mengambil keputusan. Baik dunia atas maupun dunia bawah memiliki ciri khas, kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dunia atas meliputi diantaranya aksioma, principel, mempunyai pondamen atas analitik a priori kebenaran konsisten. Sedangkan dunia bawah meliputi logika, mempunyai pondamen bawah sintetik aposteriori kebenaran kecocokan. Hakekatnya dari  logika  turun ke bawah (renedecaste), pengalaman naik ke atas (dividio).
            Alasan manusia berfikir sebenarnya karena ada dua potensi yaitu fatal dan vital, ada dua unsur yang meliputi yaitu hubungan kualitas dan kuantitas. Seperti halnya yang terjadi pada pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Seseorang tidak akan pernah tahu tepatnya kapan, tidak akan pernah bisa menentukan kapan anak-anak itu bisa mengetahui sesuatu, bisa melakukan sesuatu karena semua itu merupakan intuisi  yang memang tidak bisa ditetntukan kapan ruang dan waktunya. Semua ini karena pergaulan, karena interaksi antara ortu dan anak setiap hari sehingga dapat meningkatkan, menajamkan, menebakan, dan memperkokoh kesempatan bagi anak untuk memikirkan yang nantinya akan berujung pada pengetahuan atau ilmu baru yang di peroleh. Orang yang banyak belajar, banyak bergaul dan banyak berfikir maka akan memiliki struktur pengetahuan yang kuat, yang nantinya
secara spontan akan mengerti dan berkomunikasipun  juga akan secara spontan.
            Di sisi lain manusia dapat mengerti atau dapat faham juga karena adanya potensi bawaan (genetika). Contohnya seseorang cerdas, mungkin karena bapaknya cerdas. Seseorang baik hati, mungkin karena ibunya baik hati. Itu jika dilihat secara biologi atau genetiknya. Namun secara filsafat, kembali mengenai fatal dan vital. Berlanjut pada unsur dasar fenomenologi. Unsur dasar fenomenologi ada dua yaitu idealisasi (menganggap sempurna sifat yang ada) dan abstraksi (memandang sebagian). Contohnya jika aku hanya bisa memandang yang di depanku itu merupakan abstraksi. Di dalam fenomemologi ada intensif, perhatian atau fokus. Misalnya saja  baju bu retno itu batik, apakah ada pola matematikanya atau tidak. Jika seperti itu maka fokusnya sudah terdapat pada pola matematika saja, tidak melihat yang lain. Hal-hal lain yang tidak menjadi fokus perhatian akan disimpan di dalam epoche.  Contoh lainnya adalah ketika bertemu Bapak Marsigit maka fokus yang ada adalah mengenal filsafat. Hal lain yang bukan merupakan bagian dari filsafat maka akan dimasukkan ke dalam epoche.
            Seseorang harus menggunakan hermeunetika di dalam hidupnya. Seperti halnya bahwa di  dunia itu sebenarnya tidak ada yang lancip,tidak ada yang lurus. Semua benda paling mentok ujungnya melengkung. Bahkan ujung benda suatu atompun  adalah melengkung. Yang lancip, yang lurus itu hanya ada di dalam fikiran. Itulah yang dimaksud dengan idealisasi baik di dalam fikiran maupun di luar fikiran. Maka menjadi tantangan bagi seorang guru untuk dapat menerapkan pendekatan gunung es di dalam proses pembelajaran sesuai dengan materi, sesuai dengan karakter, sifat dan kemampuan siswa. Entah dengan berbagai macam cara yang ada, yang pasti dengan tujuan mengadakan yang mungkin ada menjadi ada bagi para murid.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar