Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu
Hari Selasa, 24 November 2015
Pukul 11.10 - 12.50 WIB
di Ruang 305B Gedung Lama Pasca Sarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Bersama Bapak Prof. Marsigit
Hakikatnya terdapat tiga komponen dalam hidup kita: menajam, membangun, mendatar. Yang lebih difokuskan dibicarakan di sini mengenai pendekatan saintifik yang merupakan fenomena menajam. Fenomena menajam merupakan fenomena yang kurang memenuhi harapan apalagi jika ingin dijadikan tema yang meliputi keseluruh maka hanya dapat memenuhi sepertiga dari bagian dunia atau hidup. Jika diibaratkan hanya seperti bangau yang hanya menajam saja dalam mencari ikan. Hal inilah yang menjadi kritik oleh dunia filsafat dengan adanya penerapan pendekatan saintifik.
Pukul 11.10 - 12.50 WIB
di Ruang 305B Gedung Lama Pasca Sarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Bersama Bapak Prof. Marsigit
Hakikatnya terdapat tiga komponen dalam hidup kita: menajam, membangun, mendatar. Yang lebih difokuskan dibicarakan di sini mengenai pendekatan saintifik yang merupakan fenomena menajam. Fenomena menajam merupakan fenomena yang kurang memenuhi harapan apalagi jika ingin dijadikan tema yang meliputi keseluruh maka hanya dapat memenuhi sepertiga dari bagian dunia atau hidup. Jika diibaratkan hanya seperti bangau yang hanya menajam saja dalam mencari ikan. Hal inilah yang menjadi kritik oleh dunia filsafat dengan adanya penerapan pendekatan saintifik.
Filsafat ilmu tidak hanya ada di Negeri Barat, di negeri
Timur pun juga ada. Walaupun apda hakekatnya antara filsafat Barat dan filsafat
Timur berbeda. Filsafat ilmu semakin hari maka semakin tinggi, semakin meruncing,semakin
merucut merucut dan semakin tinggi dimensinya. Di situlah matematika murni ada pada
batasan formal. Jika di dunia barat maka disebut dengan Iceberg, maka di
Indonesia disebut dengan Gunung. Seperti halnya sifat gunung api yaitu memuntahkan larva (analognya adalah sebagai
kakak sangat mudah marah kepada adik. Kakak diibaratkan merupakan dimensi
gunung yang berada di puncak. Seharusnya seornag kakak harus dapat lebih
bijaksana di dalam menyikapi hal tersebut). Dapat juga dianalogikan di dalam mempelajari
matematika, seorang guru juga harus mempelajari siswa. Dalam artian jangan peluncuran
larva panas (pemaksaan kehendak terhadap murid). Guru harus bisa memahami
karakter, sifat para siswa untuk mempermudah di dalam proses pembelajaran.
Fenomena – fenomena yang ada juga tergantung dari kesiapan para subyek. Jika siswa
hanya sebagai obyek di dalam pembelajaran maka semua fenomena disebut disaster
atau bencana. Disebut bencana karena siswa tidak dapat berfikir secara aktif,
tidak dapat berfikir secara bebas, terkekang dan tertekan oleh pendapat guru.
Jika di dalam pembelajaran siswa merasa senang atau merasa jelas dan mudah
faham berarti itu menunjukkan siswa sebagai subjek. Jadi semuanya kembali
kepada kesiapan subyek dan obyek di dalam proses pembelajaran.
Di dalam filsafat, jika kita tidak banyak membaca maka
tanpa kita sadari maka kita akan menjadi obyek. Menjadi obyek yang tidak akan
pernah berkembang, tidak akan pernah maju karena akan dikuasi oleh subyek (orang-orang
yang gemar membaca sehingga ilmu, pengetahuan dan wawasannya luas). Menurut
IMMANUEL KANT terbentuknya filsafat ilmu sebenarnya hanya terdiri dari dua unsure
yaitu batas atas adalah dunia fikiran (apriori) dan batas bawah yaitu dunia pengalaman
(a posteriori). Namun inti dari dua dunia tersebut adalah sama yaitu pada
tingkatan tertinggi mengambil keputusan. Baik dunia atas maupun dunia bawah
memiliki ciri khas, kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dunia atas meliputi
diantaranya aksioma, principel, mempunyai pondamen atas analitik a priori
kebenaran konsisten. Sedangkan dunia bawah meliputi logika, mempunyai pondamen bawah
sintetik aposteriori kebenaran kecocokan. Hakekatnya dari logika
turun ke bawah (renedecaste), pengalaman naik ke atas (dividio).
Alasan manusia berfikir sebenarnya karena ada dua potensi
yaitu fatal dan vital, ada dua unsur yang meliputi yaitu hubungan kualitas dan
kuantitas. Seperti halnya yang terjadi pada pertumbuhan dan perkembangan
anak-anak. Seseorang tidak akan pernah tahu tepatnya kapan, tidak akan pernah
bisa menentukan kapan anak-anak itu bisa mengetahui sesuatu, bisa melakukan
sesuatu karena semua itu merupakan intuisi
yang memang tidak bisa ditetntukan kapan ruang dan waktunya. Semua ini karena
pergaulan, karena interaksi antara ortu dan anak setiap hari sehingga dapat meningkatkan,
menajamkan, menebakan, dan memperkokoh kesempatan bagi anak untuk memikirkan
yang nantinya akan berujung pada pengetahuan atau ilmu baru yang di peroleh. Orang
yang banyak belajar, banyak bergaul dan banyak berfikir maka akan memiliki
struktur pengetahuan yang kuat, yang nantinya
secara spontan akan
mengerti dan berkomunikasipun juga akan
secara spontan.
Di sisi lain manusia dapat mengerti atau dapat faham juga
karena adanya potensi bawaan (genetika). Contohnya seseorang cerdas, mungkin karena
bapaknya cerdas. Seseorang baik hati, mungkin karena ibunya baik hati. Itu jika
dilihat secara biologi atau genetiknya. Namun secara filsafat, kembali mengenai
fatal dan vital. Berlanjut pada unsur dasar fenomenologi. Unsur dasar fenomenologi
ada dua yaitu idealisasi (menganggap sempurna sifat yang ada) dan abstraksi (memandang
sebagian). Contohnya jika aku hanya bisa memandang yang di depanku itu merupakan
abstraksi. Di dalam fenomemologi ada intensif, perhatian atau fokus. Misalnya
saja baju bu retno itu batik, apakah ada
pola matematikanya atau tidak. Jika seperti itu maka fokusnya sudah terdapat pada
pola matematika saja, tidak melihat yang lain. Hal-hal lain yang tidak menjadi
fokus perhatian akan disimpan di dalam epoche.
Contoh lainnya adalah ketika bertemu Bapak Marsigit maka fokus yang ada
adalah mengenal filsafat. Hal lain yang bukan merupakan bagian dari filsafat
maka akan dimasukkan ke dalam epoche.
Seseorang harus menggunakan hermeunetika di dalam
hidupnya. Seperti halnya bahwa di dunia
itu sebenarnya tidak ada yang lancip,tidak ada yang lurus. Semua benda paling
mentok ujungnya melengkung. Bahkan ujung benda suatu atompun adalah melengkung. Yang lancip, yang lurus
itu hanya ada di dalam fikiran. Itulah yang dimaksud dengan idealisasi baik di
dalam fikiran maupun di luar fikiran. Maka menjadi tantangan bagi seorang guru
untuk dapat menerapkan pendekatan gunung es di dalam proses pembelajaran sesuai
dengan materi, sesuai dengan karakter, sifat dan kemampuan siswa. Entah dengan
berbagai macam cara yang ada, yang pasti dengan tujuan mengadakan yang mungkin
ada menjadi ada bagi para murid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar